Relokasi Tahap III Penyiapan LUT Terancam Tertunda, Akibat Warga Pertibi Klaim Tanah Ulayat
Karo-Surakaro.com
Puluhan Warga Pertibi Lama dan Pertibi Tembe Kecamatan Merek Kab. Karo, meminta kepada PT. Mega Mulya Mas untuk tidak beroperasi dulu dalam mencabut tongkol kayu (Land Clearing) sisa sisa bekas penebangan kayu lanjutan pembangunan Relokasi Tahap III di Siosar Kec. Merek Kab. Karo, dalam sektor penyiapan dan pengolahan lahan usaha pertanian (LUT).
Menurut Nelson Munte selaku Kepala Desa Pertibi, konflik kepentingan ini sebelum ada solusi kepada masyrakat kami, yang berkaitan dengan tanah ulayat milik kami yang diklaim milik hutan negara, kami minta tetap ada penyelesaian.
“Agar tidak ada anarkis dilapangan, kami minta tolong diberhentikan saja dulu, ini bukan mengancam tapi ini aspirasi masyarakat saya, harus saya sampaikan,” ujarnya saat mengikuti rapat mengidentifikasi dan penyelesaian permasalahan penyiapan lahan usaha Tani Relokasi Tahap III, diruang rapat Bupati Karo, Selasa (03/11/2020) sekira pukul 15.00 WIB.
Sementara pelaksana tugas Kalak BPBD Karo Natanael perangin Angin, SH membenarkan pelaksanaan kegiatan penyiapan lahan usaha Tani (LUT) terlambat akibat adanya konflik kepentingan antara masyarakat dengan pemerintah.
“Keterlambatan ini dikuatkan dengan maraknya penggarapan lahan masih saja terjadi dan larangan kepada pengusaha rekanan kontraktor yang bekerja saat mencabut tongkol kayu (land clearing),” ungkapnya.
Menurut Natanail, data jelas pada surat keputusan menteri lingkungan hidup dan kehutanan nomor 457 tahun 2017 menyebutkan luas lahan 480,11 Hektar diperuntukkan keperluan lahan usaha pertanian pengungsi erupsi Gunung Sinabung.
“Jadi kami sebagai User tidak tahu jika ada masyarakat mengklaim itu adalah tanah ulayat desa,” terangnya.
Hal yang sama dikemukakan oleh Mantan Kalak BPBD Kab. Karo Ir Martin Sitepu sesuai pengetahuannya bahwa Desa Siosar sebetulnya namanya Perluasan kawasan buatan Siosar, hanya dulu batas batasnya tidak kita ketahui, namun masyarakat setempat telah menyerahkan kepada pemerintah, pada tahun 1960 sesuai dokumen yang ada, dalam arti kata “involving” dengan melibatkan unsur masyrakat sekitar dan unsur pemerintah saat itu.
“Jadi aneh sekarang jika ada masyarakat mengklaim tanah ulayat, itu sah sah saja, hanya perlu dirembukkan ulang jika ada dokumen surat lagi yang belum terpantau oleh pemerintah, sillahkan sampaikan,” jelasnya.
Lebih lanjut dijelaskan Martin, pada tahun 1980 baru ada tapal batas yang ditetapkan oleh pemerintah bahwa tanah ulayat masuk kawasan hutan dan milik negara, hal ini juga dibuktikan ada tanda tangan bersama unsur desa dan unsur pemerintah daerah.
Bahan pertimbangan lainnya, bagi masyarakat setempat lanjut Martin menyampaikan bahwa pada tahun 2003 dan 2004 ada penebangan pinus oleh pemerintah, dan saat itu sepengetahuan saya masyarakat tidak ada komplin.
“Padahal momen yang tepat untuk mencegah agar kayu tidak ditebang, maaf ini lahan kami. Jadi bukan sekarang diributkan,” ungkapnya.
Mendengar tersebut, Bupati Karo Terkelin Brahmana, SH, MH, menilai melihat permasalahan yang sedang terjadi ada “Mis” sehingga muncul permasalahan yang seharusnya dapat dirembukkan sesuai budaya kearifan lokal, musyawarah dan mufakat.
“Untuk itu saya meminta kepada dinas kehutanan KPH 15 yang hadir saat ini bapak Jaka, agar menyampaikan ketingkat kehutanan propinsi agar permasalahan ini ada “win win solution” supaya kita semua satu persepsi, sebab SK itu bukan Pemkab Karo yang mengeluarkan, tapi pihak Menteri LHK, jadi semua ada aturan main dan sistem,” harapnya.
Hadir dalam rapat Bupati Karo Terkelin Brahmana SH, MH, pelaksana asisten I pemerintahan Davit Trimei Sinulingga, SH, Kabag Ops Polres Tanah Karo Kompol F. Munte, Pasi Teritorial Dim 0205 /TK kapten JMH Tampubolon, Kadis Pertanian Metehsa Purba, Plt Kalak BPBD Natanail Perangin angin Camat Merek Juspri Nadeak, Kabid LHK Kab. Karo Ida Yani dan pihak rekanan kontraktor Relokasi Tahap III. (Dhany/RP)